TREKKING KONYOL
Trekking atau yang biasa disebut kegiatan mendaki gunung bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Persiapan yang lengkap, mental yang siap dan bekal yang sedap (tak lupa juga doa biar gak khilaf) harus diatur agar planning nya mantap.
Tapi pernah gak kalian merasa salah "senjata" saat pendakian?
Kejadian ini pernah saya alami saat trekking Gunung Ijen. Gunung Ijen adalah sebuah gunung berapi aktif yang terletak di kawasan perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian 2.443 mdpl dan terletak berdampingan dengan Gunung Merapi. Gunung ini terkenal dengan fenomena api biru nya (blue fire) yang muncul di dasar kawah dan hanya dapat dilihat saat gelap saja (malam atau dini hari). Memiliki karakteristik tanah yang berpasir cukup menyulitkan para pendaki yang ingin menaklukan Gunung yang dipenuhi asap belerang ini.
Saya mendapat kesempatan untuk ikut Inspection Trip bersama grup tamu Jerman saat saya masih bekerja di travel agent. Sangat antusias, karena ini trip pertama keluar pulau dan saking antusiasnya, saya gak tahu apa yang mesti dipersiapkan dalam perjalanan tour selama 7 hari tersebut. Topi, kemeja lengan panjang, baju kaos, celana panjang dan pendek, sepatu Converse dan (yang paling memalukan) sandal jepit. Tanpa jaket dan sandal trekking.
Sepintas tak ada yang salah memang, tapi mengingat tour yang berisikan (yang mana saya sudah tahu persis destinasinya kemana) seperti Trekking Sukuh, Trekking Bromo, dan juga Gunung Ijen agaknya tidak ada pakaian yang benar-benar berguna yang saya bawa.
Menginap di Ketapang Indah Hotel kami diharuskan bangun jam 4 dini hari. Beberapa tamu sudah berangkat dari hotel jam 12 malam karena ingin menyaksikan Blue Fire nya. Menggunakan mobil Jeep saya masih sempatnya ngantuk dalam durasi 2 jam perjalanan dari hotel ke Gunung Ijen tersebut.
Sampai di starting point nya saya sudah merasa gugup duluan. Beberapa kilometer berjalan ditemani guide dan sisa tamu yang lainnya, saya sudah merasa ada yang salah. Ya, alas kaki saya yang salah. Trekking di gunung yang tinggi, memakai 2 lapis baju, celana jeans panjang dan sandal jepit, sudah sangat lengkap kesalahan ini. Saya tak menampik memakai dua lapis baju akan sangat berguna menjaga suhu tubuh agar tidak kedinginan di gunung, tapi sebenarnya itu justru mengganggu pernapasan. Dada jadi terasa sesak sulit bernapas karena sempitnya ruang bagi paru-paru untuk menghirup oksigen, terlebih semakin naik, oksigen semakin menipis. Tambah pula saya mengidap sakit sesak. Sempurna.
Celana jeans panjang mungkin saya masih bisa maafkan karena stok celana yang lain sudah kotor. Cukup lumayan mengganggu gerakan kaki karena tipe serat jeans yang tebal dan berat menutupi kaki, sukses membuat saya harus menyeret-nyeret kaki selama pendakian dan hampir tidak saya temui trekk yang datar disana.
Lalu sandal jepit?
Ini baru anti-mainstream. Seperti yang saya katakan, karakteristik tanah Gunung Ijen itu berpasir, kalau salah langkah kita benar- bisa terpeleset karena licin. Sempat tamu yang lain juga terpeleset entah itu karena salah pijakan atau memang dia nya sendiri yang sudah oleng.
Celetuk seorang tamu lain dari grup kami bertanya, "Are you sure wanna trekking using that slipper?" sambil ketawa.
"Ya why?," aku jawab dengan bahasa inggris yang gagu.
"No, you're cool man." tambah ketawanya lagi
Pikir saya Aah masa bodo aja. Mata yang sudah berkunang-kunang karena kelelahan tidak sempat berpikir waktu itu. Saya memang bawa sepatu, tapi itu sudah hancur. Benar-benar hancur ketika dipakai trekking Sukuh 4 hari sebelumnya. Route nya yang naik turun benar-benar minta ampun sambil sembah-sembah.
Apalagi sepatu sneakers merk Converse yang kalian sudah tahu sendiri itu pasti licin kalau dipaksakan buat mendaki karena memang design nya memang bukan buat trekking. Tak sedikitpun terlintas di benak untuk bawa sandal trekking (#alasan yang didramatisir)
Akhirnya tiba juga sampai di puncak Gunung Ijen. Memang klise kalau kalian mendengarnya, tapi memang tak ada kata lain lagi yang bisa menggambarkan indahnya pemandangan dari puncak.
Ada yang bermalam dengan tenda di sana, ada juga orang-orang lokal yang memikul belerang untuk dibawa ke bawah. Emejing
Sayang, saya tidak sempat mengabadikan banyak pemandangan dari atas sana foto karena kehabisan waktu untuk nyari orang buat foto Instagrammeable saya. Mudah-mudahan sharing pengalaman saya ini membuat sadar para pendaki-pendaki newbie agar lebih waspada dan melakukan persiapan yang matang sebelum bisa buru-buru update status ataupun foto selfie di puncak Gunung Ijen.
Tapi pernah gak kalian merasa salah "senjata" saat pendakian?
Kejadian ini pernah saya alami saat trekking Gunung Ijen. Gunung Ijen adalah sebuah gunung berapi aktif yang terletak di kawasan perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Gunung ini memiliki ketinggian 2.443 mdpl dan terletak berdampingan dengan Gunung Merapi. Gunung ini terkenal dengan fenomena api biru nya (blue fire) yang muncul di dasar kawah dan hanya dapat dilihat saat gelap saja (malam atau dini hari). Memiliki karakteristik tanah yang berpasir cukup menyulitkan para pendaki yang ingin menaklukan Gunung yang dipenuhi asap belerang ini.
Asap belerang yang mengepul berasal dari dasar kawah Gunung Ijen |
Saya mendapat kesempatan untuk ikut Inspection Trip bersama grup tamu Jerman saat saya masih bekerja di travel agent. Sangat antusias, karena ini trip pertama keluar pulau dan saking antusiasnya, saya gak tahu apa yang mesti dipersiapkan dalam perjalanan tour selama 7 hari tersebut. Topi, kemeja lengan panjang, baju kaos, celana panjang dan pendek, sepatu Converse dan (yang paling memalukan) sandal jepit. Tanpa jaket dan sandal trekking.
Sepintas tak ada yang salah memang, tapi mengingat tour yang berisikan (yang mana saya sudah tahu persis destinasinya kemana) seperti Trekking Sukuh, Trekking Bromo, dan juga Gunung Ijen agaknya tidak ada pakaian yang benar-benar berguna yang saya bawa.
Menginap di Ketapang Indah Hotel kami diharuskan bangun jam 4 dini hari. Beberapa tamu sudah berangkat dari hotel jam 12 malam karena ingin menyaksikan Blue Fire nya. Menggunakan mobil Jeep saya masih sempatnya ngantuk dalam durasi 2 jam perjalanan dari hotel ke Gunung Ijen tersebut.
Sampai di starting point nya saya sudah merasa gugup duluan. Beberapa kilometer berjalan ditemani guide dan sisa tamu yang lainnya, saya sudah merasa ada yang salah. Ya, alas kaki saya yang salah. Trekking di gunung yang tinggi, memakai 2 lapis baju, celana jeans panjang dan sandal jepit, sudah sangat lengkap kesalahan ini. Saya tak menampik memakai dua lapis baju akan sangat berguna menjaga suhu tubuh agar tidak kedinginan di gunung, tapi sebenarnya itu justru mengganggu pernapasan. Dada jadi terasa sesak sulit bernapas karena sempitnya ruang bagi paru-paru untuk menghirup oksigen, terlebih semakin naik, oksigen semakin menipis. Tambah pula saya mengidap sakit sesak. Sempurna.
Celana jeans panjang mungkin saya masih bisa maafkan karena stok celana yang lain sudah kotor. Cukup lumayan mengganggu gerakan kaki karena tipe serat jeans yang tebal dan berat menutupi kaki, sukses membuat saya harus menyeret-nyeret kaki selama pendakian dan hampir tidak saya temui trekk yang datar disana.
Lalu sandal jepit?
Ini baru anti-mainstream. Seperti yang saya katakan, karakteristik tanah Gunung Ijen itu berpasir, kalau salah langkah kita benar- bisa terpeleset karena licin. Sempat tamu yang lain juga terpeleset entah itu karena salah pijakan atau memang dia nya sendiri yang sudah oleng.
Celetuk seorang tamu lain dari grup kami bertanya, "Are you sure wanna trekking using that slipper?" sambil ketawa.
"Ya why?," aku jawab dengan bahasa inggris yang gagu.
"No, you're cool man." tambah ketawanya lagi
Pikir saya Aah masa bodo aja. Mata yang sudah berkunang-kunang karena kelelahan tidak sempat berpikir waktu itu. Saya memang bawa sepatu, tapi itu sudah hancur. Benar-benar hancur ketika dipakai trekking Sukuh 4 hari sebelumnya. Route nya yang naik turun benar-benar minta ampun sambil sembah-sembah.
Apalagi sepatu sneakers merk Converse yang kalian sudah tahu sendiri itu pasti licin kalau dipaksakan buat mendaki karena memang design nya memang bukan buat trekking. Tak sedikitpun terlintas di benak untuk bawa sandal trekking (#alasan yang didramatisir)
Akhirnya tiba juga sampai di puncak Gunung Ijen. Memang klise kalau kalian mendengarnya, tapi memang tak ada kata lain lagi yang bisa menggambarkan indahnya pemandangan dari puncak.
Keelokan Gunung Ijen, foto yang diambil dari puncak |
Ada yang bermalam dengan tenda di sana, ada juga orang-orang lokal yang memikul belerang untuk dibawa ke bawah. Emejing
Sayang, saya tidak sempat mengabadikan banyak pemandangan dari atas sana foto karena kehabisan waktu untuk nyari orang buat foto Instagrammeable saya. Mudah-mudahan sharing pengalaman saya ini membuat sadar para pendaki-pendaki newbie agar lebih waspada dan melakukan persiapan yang matang sebelum bisa buru-buru update status ataupun foto selfie di puncak Gunung Ijen.
EmoticonEmoticon